Valanta Cafe malam minggu ramai oleh pasangan muda-mudi tengah menghabiskan malam panjang. Di salah satu meja, tampak Linn yang sebentar-sebentar menatap Zuck di depannya dengan tatapan pengen segera ditraktir. Sementara Zuck, juga tak mau kalah memberikan tatapan yang seimbang, ngarep banget ditraktir. Sudah setengah jam mereka di sana, tapi belum satupun yang pesen apa-apa. Sementara hampir seluruh pelayan cafe menatap jutek ke arah mereka. Kurang lebih makna tatapan itu adalah: kalau cuma duduk-duduk, ngapain gak pacaran di trotoar aja!
Tapi baik Zuck maupun Linn, bukanlah ahli di bidang mengartikan bahasa tatapan. Masing-masing terus bertahan menunggu siapa yang akan pesan duluan. Karena pada jalinan kisah kasih keduanya, terdapat peraturan perkencanan tak tertulis tapi musti dijunjung tinggi: siapa yang pesan dialah yang bayar!
"Kamu mau minum apa, sayang," tawar Zuck kemudian dengan suara jentelmen. Ia nyerah dan tidak tahan melihat sorot pengusiran dari mata para pelayan. Ia pikir tidak masalah dia yang pesan minuman, biar nanti Linn bagian memesan makanan.
"Aku jus alpukat aja," Linn menyahut sumringah. Begitu dong! Di mana-mana yang namanya lelaki itu menafkahi wanita, jadi kalau malam ini Zuck yang ngeluarin biaya lagi, itu emang sudah kodratnya! Lanjut Linn dalam hati.
"Mm... Jangan deh, Sayang. Kamu lupa nih pasti, kalau buah alpukat itu tinggi banget kandungan lemaknya? Kamu nggak mau kan jadi gemuk cuma gara-gara segelas jus alpukat?" jelas Zuck entah didapat dari situs kedokteran mana. "Kalau gemuk nanti jadi nggak muat lagi loh di hatiku."
Linn tersenyum kecut. Harapannya menyeruput legitnya jus alpukat harus musnah segalanya. "Tapi....
"Udah pesen yang lain aja," serobot Zuck.
"Yaudah jus mangga arumanis aja, siapa tau bisa bikin aku tambah harum dan manis?"
Zuck menatap Linn, mendengus pelan. "Coba deh lihat bener-bener, itu tuh bukan mangga arumanis kali. Entah mangga apa pokoknya nggak enak banget, kemarin aku udah nyoba, habis itu tenggorokanku gatal-gatal."
"Jus jeruk! Nah iya, jus jeruk pasti seger dinikmati malam-malam gini," Linn nggak nyerah mengajukan pesanan, mengingat serta menimbang kalau Zuck ini bisa dihitung dengan jari berapa kali menraktir. Ini kesempatan langka yang musti dimanfaatkan sejadi-jadinya.
"Sepertinya jeruk-jeruk itu udah pada nggak seger, jangan-jangan malah udah busuk. Ntar kalau kamu sakit gimana? Siapa yang akan nyakitin aku?" Zuck juga tidak menyerah mencari celah menyelamatkan keutuhan isi dompetnya.
"Trus apaaa?! Banyak alasan deh lo!" geram Linn melotot tajam ke arah Zuck.
"Bosan tau nggak sih jus-jus yang udah biasa itu. Pengennya yang beda, kayak misalnya jus buah simalakama, atau apa aja deh yang penting beda. Sayangnya di sini nggak ada," Zuck dengan muka badak yang telah kendor urat-urat malunya mengatakan hal-hal yang tak lazim dikonsumsi manusia normal.
"Tapi jus kulit durian kayaknya ada deh, pesen aja!" usul Linn mulai berkurang rasa cintanya. Pengennya sih langsung mengirimkan hook kanan aja ke bibir Zuck.
Selanjutnya, dengan penuh gaya, Zuck menjentikan jari memanggil pelayan. "Mbak, air mineral dua botol. Gak pake pipet dan gak pake lama, ya?"
Belum sempat Linn protes atas pesanan yang kelewat hemat itu, Zuck lagi-lagi membagikan ilmu pengetahuannya. "Dengan banyak minum air putih, kulit kita akan terlihat segar, sirkulasi darah lancar, membantu metabolisme tubuh, dan yang penting aman!"
"Aman dari Hongkong!"
"Bukan dari Hongkong, Sayang. Ini nih langsung diambil dari sumber mata airnya di Sukabumi. Tanpa pewarna! Tanpa pengawet! Jadinya aman. Yuk mari dinikmati. Tos dulu," Padahal aman yang dimaksud Zuck adalah dompetnya.
Dan rasanya asing banget cuma minum air tawar di antara pengunjung lain yang di hadapan mereka terhidang rupa-rupa makanan dan minuman berwarna.
Merasa telah memesan minuman, Zuck berharap Linn lah yang bertanggungjawab untuk urusan makanan. Sedang Linn berpikir, sebagai cowok Zuck lah yang musti menanggung semuanya. Berhubung tak juga ada yang mengalah, terpaksa air putih mereka tenggak hingga tetes terakhir hingga perut kembung. Ujung-ujungnya Zuck jadi kebelet pipis.
"Kita pulang aja yuk," ajak Zuck mulai bete dengan suasana seperti ini.
"Pulang?!" Linn tidak terima, belum juga makan apa-apa? Kencan model apa ini?
"Aku kebelet pipis banget."
"Pipis di sini aja," Linn nyodorin botol air mineralnya yang telah kosong.
"Mbak, minta billnya!" Zuck memanggil salah satu pelayan.
"Cuma dua botol air tawar aja pake bill-bill-an, ngabis-ngabisin kertas. Semuanya 12.000!" sahut sang pelayan sedikit tidak sopan, gak hirau walau ada pepatah klasik berbunyi 'pembeli adalah raja'. Zuck dianggapnya raja singa aja udah. Lagian mana ada raja yang nraktir kekasihnya air putih doang.
Zuck terdiam sesaat entah mikir apa. Lalu dengan berat hati mengeluarkan dompet kulit dari saku celananya. Berat dan sulit banget, seakan dompet itu terbuat dari besi seberat dua ton, padahal dibikinnya juga dari ekstrak kulit manggis. Dan dari sana Zuck hanya rela menarik dua lembar lima ribuan, tak sepadan sama ukuran tebalnya yang nyaingin kamus bahasa Vietnam-Indonesia itu. "Ini Mbak, kembaliannya silahkan ambil buat Mbak aja."
Mbak pelayan menarik nafas dongkol. "Mas! Kalau Mas merasa cowok dari kaum dhuafa, jangan coba-coba masuk ke kafe ini deh. Nenek-nenek breakdance juga tau, kalau duit Mas tuh masih kurang dua rebu!" repet sang pelayan, hidungnya kembang kempis menahan kesal.
"Hehe, iya, yah," Zuck cengar-cengir minta ditendang.
"Sepuluh ribu aja ya, Mbak," Zuck mencoba bernegosiasi.
"Segitu pake ditawar?!"
"Lah saya kan emang pesen air tawar, masa nggak boleh ditawar?"
Kemudian Zuck menoleh ke arah Linn, menatap Linn penuh cinta. "Beb, bayarin dulu dong kurangannya. Kelak jika aku sudah kaya raya, aku janji akan kuganti plus bunganya sebesar 0,5%."
"Nggak!" Linn menjawab ketus.
"Dua ribu rupiah aja nggak mau bantu?! Duh... Ada ada aja kamu, Sayang."
"Mas sendiri tuh yang ada ada aja, bukannya nraktir, malah minta tambahan dana," sahut Linn bete.
"Kamu tuh ya?! Baru dua rebu perak aja susah amat! Gimana seterilyun? Kan kamu yang ngajakin kemari tadi, harusnya kamu dong yang keluar duit!"
Linn menatap Zuck tajam. "Perhitungan banget sih! Cowok apa bukan sih?"
Wajah Zuck langsung masam dikatain seperti itu. Dengan gerakan kasar ia kembali mengeluarkan dompet. Linn kira Zuck akan mengambil uang untuk menutupi kekurangan, tapi ternyata Zuck cuma mengeluarkan KTP yang langsung disodorkan pada Linn. "Nih baca sendiri jenis kelamin gue! Cowok apa bukan!" sungut Zuck sedikit kesal telah diragukan jenis kelaminnya. Dia bersumpah, kalau Linn masih belum percaya juga, ia akan keluarkan jenis kelaminnya di depan publik.
"Laki-laki KTP!" debat Linn.
"Woy! Berantemnya ntar diterusin di rumah. Sekarang cepet bayar kekurangannya sebelum aku panggil sekuriti!" ancam pelayan.
Akhirnya, Linn mengalah, ia relakan dua helai uang seribu yang sudah jamuran miliknya untuk menutupi kekurangan pembayaran.
******
Pukul empat sore Linn sudah anteng di kamar menyimak siaran radio Fresh Fm. Biasanya minggu sore begini ada program konsultasi cinta dipandu penyiar bernama Julio yang telah ahli di bidangnya. Linn berencana mengadukan pacar pelitnya ke acara ini, siapa tahu bisa dapat solusi jitu.
Acara sudah dimulai sejak sepuluh menit lalu dan line telepon juga telah dibuka. Linn berkali-kali menghubungi nomor studio radio, tapi selalu keduluan pendengar lain. Ini acara memang cukup bagus ratingnya. Peminatnya sampai ribuan. Nggak heran kalau jempol Linn hampir terkilir mencet telepon tapi tak juga kunjung terkoneksi.
"Fresh fm met sore, dengan siapa dan di mana?" suara sang penyiar.
"Halo Julio. Ini Aru, di Sudirman," jawab penelepon kesekian, dan untuk kesekian kalinya Linn mengumpat. Sial! Selalu aja kalah cepet sama penelepon lain.
"Oke Aru, punya masalah yang mau dicurhatin?"
"Iya. Gini. Gue tuh punya pacar yang pelitnya tiada tandingan tiada bandingan," ungkap si penelepon.
Linn mempertajam daya tangkap telinganya. Volume radio diputar hingga posisi tertinggi. Ia tertarik, ada pendengar lain memiliki kasus yang mirip dengan dirinya.
"Tiap kali jalan, nonton, makan dan segala macamnya, cewek gue tuh cuma ngarepin gue mulu. Gue yang selalu ngeluarin biaya untuk kesenangan berdua. Lama-lama gue kan cape. Gue kuatir kalau begini terus, di masa depan gue akan sukses menjadi fakir miskin. Gimana nih? Apa perlu gue bunuh aja dia? Tolong ya? Sebenernya sih gue sayang banget sama dia," curhat si penelepon.
"Gini ya, bro. Kalau elo emang bener sayang, ngapain juga mempermasalahin masalah duit gitu? Kalau cuma jalan, nonton atau makan di restoran, palingan berapa sih? Gak nyampe jutaan kan? Lagian gak mungkin tiap hari? Lain cerita kalo pacar kamu minta dibeliin TV, kulkas atau pulau, nah itu baru matre dan pantas dilempar ke laut. Kalo cuma nraktir makan kamu sudah merasa dirugiin, berarti kamu sendiri dong yang pelit."
"Cinta butuh pengorbanan! Termasuk pengorbanan uang. Masalah siapa yang ngeluarin anggaran itu gak enak banget diomonginnya. Yang pasti, kalo antara kamu dan dia udah bener-bener saling cinta, saling membutuhkan, saling pengertian, aku yakin masalah beginian gak jadi masalah. Harusnya pihak yang mentraktir bangga dong bisa membahagiakan pasangannya. Itu aja sih kalo kata gue."
"Ough... makasih, broer. Pendapat lo emang oks begete!" pungkas si penelepon riang.
Di pihak lain, Linn juga ketularan riang terinspirasi kisah Aru tadi. Ia gak perlu menelepon radio lagi karena persoalannya telah terjawab. Bener juga kata Julio, cinta butuh pengorbanan. Dan Linn mulai sadar kalau selama ini gak mau berkorban biaya, cuma ngarepin dari Zuck melulu.
Saatnya berubah! Sekarang juga! Tekad Linn dalam hati. Kemudian ia kembali memainkan ponselnya menghubungi Zuck.
"Mas, cerah nih. Keluar yuk. Ke pantai aja gimana? Ntar mampir di warung ikan bakar kesukaan kita itu. Jemput ya? Daa....”Linn mengakhiri komunikasi selulernya dengan rasa lega tak terlukiskan dengan kanvas. Ia berjanji kali ini ia yang akan bayar segala pengeluaran.
Di tempat lain Zuck merasakan hal yang sama persis. Timbul kesadaran bahwa kebahagian kisah kasih tak akan sempurna tanpa melibatkan isi dompet. Pengen rasanya nelan obat tidur 30 butir sekaligus, saat terbayang bagaimana ia dengan muka tembok cina tidak meluluskan keinginan Linn yang cuma meminta jus alpukat, justru hanya disuguhi sebotol air tawar!
Betul-betul malu kenapa harus terlalu berkalkulasi dalam masalah cinta. Tapi mulai sekarang ia berjanji akan menebus dosanya. Beruntung sore ini Linn mengajak ketemuan. Jadi, ia akan langsung mempraktekan perubahan sebagai cowok murah hati. Jangankan cuma ikan bakar, warungnyapun kalau Linn mau akan Zuck bayarin.
Nggak ada yang tau, kecuali gue yang nulis cerita ini, kalo sebenarnya penelepon bernama Aru di Fresh fm tadi tak lain tak bukan adalah Zuck sendiri. Dia malu kalau menyebutkan nama asli. Lagian sudah lazim memalsukan nama di udara seperti itu. Dari nama penyiarnya aja udah palsu. Nama asli yang sesuai akte kelahirannya adalah Rojaliun, tapi saat siaran namanya jadi Julio. Itu kalau siang, kalau malam berubah lagi jadi Julia. Halah!
*****
Malam minggu lagi. Zuck dan Linn menikmati malam di Valanta kafe. Nyaris satu jam mereka di sana. Bercerita banyak hal dengan hati ceria penuh warna. Mulai dari soal batu akik, hingga predeksi ekonomi dunia di tahun 2015. Dua gelas jus alpukat tinggal separuh isinya menemani mereka. Dua porsi cumi rebus juga baru saja mereka tuntaskan. Tak ada lagi rasa tak nyaman seperti minggu kemarin.
"Cari tempat lain yuk, boring lama-lama di sini," ajak Linn.
"Kemana lagi?"
"Kemana aja, yang penting ke pantai, makan ikan bakar kayak hari itu."
Zuck mengangguk setuju. Lantas memanggil pelayan. "Mbak, mbak, berapa semuanya?"
Pelayan yang malam minggu lalu memaki Zuck, kali ini mendekat dengan mimik sangat bersahabat. "Semuanya 43.000, Mas."
"Biar aku yang bayar, Mas," kata Linn seraya membuka dompetnya.
"Gak usah, Sayang. Aku aja," tolak Zuck.
"Kan aku yang ngajak makan di sini tadi? Aku aja ya? Kumohon pliss."
"Jangan gitu dong. Giliran kamu nanti pas makan ikan bakar."
"Ntar di sana aku yang bayar, di sini gak apa-apa kok aku juga yang bayar."
"Gak fair kalo gitu. Kemarin kamu udah traktir ikan bakar, trus waktu nonton ludruk dua hari lalu kamu juga yang beli tiketnya."
"Ga usah dingomongin lagilah masalah itu. Pokoknya biarin aku yang bayar semuanya. Okesip?"
"Nggak, nggak. Nggak bisa!" Zuck mengibaskan tangannya.
"Kalo kamu terus ntar tabungan kamu habis lho, Mas!"
"Demi cinta kita aku rela kok. Berapa tadi, Mbak?"
"Ih! Egois banget sih? Nih Mbak duitnya, kembaliannya untuk Mbak," kata Linn menyerahkan selembar limapuluh ribu.
"Jangan diterima, Mbak! Ini aja! Sisanya untuk mbak dan ini sekalian tip dari saya,” Zuck gak mau kalah, sambil menghalangi tangan pelayan menerima uang dari Linn, ia memberikan selembar uang limapuluh ribu dan selembar sepuluh ribu. Tapi dengan gesit, Linn menepis tangan Zuck.
"Mau lo tuh apa sih?!" hardik Zuck tiba-tiba, bahasanya berubah 'lo gue', pertanda kalau emosinya mulai gak bagus.
"Aku kan mau bayar makanan kita, kenapa kamu marah?"
"Yaiyalaaah! Elo mau menang sendiri. Elo sok ngeboss! Elo anggap gue ini apaa?! Hah??!!”
Linn diam menatap Zuck, lalu menggeleng tak mengerti. "Harusnya Mas bahagia aku rela ngeluarin biaya buat kencan kita."
"Gimana gue bisa bahagia kalo sikap lo kayak gini. Ini sama aja lo ngerendahin gue. Mau lo apaaa...?!!"
"Lo sendiri maunya apa? Hah!" tantang Linn sambil malangkerik.
"&)(*+!!><|\\\!!!I8@!!!!"
"#!?((^%!!!!#!!!"
Mbak pelayan cuma bisa bengong melihat konfrontasi dua sejoli itu. Minggu lalu berantem gara-gara bersikukuh mempertahankan isi dompet, malam minggu ini kembali geger tapi dengan sebab yang sangat berlawanan. Satu hal yang bisa di lakukan si mbak pelayan adalah, meletakan jari telunjuk di atas dahinya dengan posisi miring. Sarap!