Jenuh
Sudah berjam-jam aku memandang kamu di sini. Iya, hanya memandang. Sebab kamu mengabaikanku, tidak menghargai hadirku. Sedikitpun tidak ada isyarat kamu akan mengajakku bermain.
Kita memang berdua, tapi masing-masing. Kau meminta diperhatikan, tetapi aku juga merasa bahwa aku tidak diinginkan. Berhari-hari kau mengabaikanku. Apa-apa yang kulakukan semua salah.
Di matamu, aku hanya beban yang sangat ingin kau singkirkan. Entah apa memang benar aku yang salah atau kamu yang enggan mengalah.
Padahal, harapku kita berjalan sejajar, berdampingan, setapak demi setapak. Bukan kau di depan, aku di belakang. Bukan kau berlari, aku tertatih. Kau yang selalu menang dan aku pasti kalah.
Bukan kisah seperti itu. Permainan tarik ulur seperti ini sangat tidak lucu, Sayang. Untuk apa kamu melakukannya? Menguji besarnya cintaku? Atau hanya ingin membuatku bosan, kemudian memilih pergi? Kau pasti di salah satunya.
Daripada begini, saling membuang waktu, lebih baik katakan saja bagaimana inginmu. Salah jika kamu berpikir hanya kamu yang jenuh. Salah jika kamu menganggap dirimu terlalu berharga untukku. Aku juga jenuh, sayang. Dan aku juga berharga.
Tetapi perasaan sayang yang menyelamatkanku dari kejenuhan itu. Juga cinta dalam dada yang menjadikanmu lebih berharga dari rasa egoisku di kepala. Pergilah jika aku bukan pintamu. Mari lakukan hal yang semestinya kita lakukan. Lenyapkan jenuhmu. Aku akan membunuh cintaku. Tak usah memikirkan perasaanku, aku cukup tabah.
Di kisah sebelumnya, aku sudah pernah patah sebegitu parahnya. Menurutku, patah hati terparah adalah ketika yang terpercaya berubah arah. Lepaskan saja jika memang kau ingin lepas. Perihal sesaknya, biarlah itu menjadi urusanku.
Namun ketauhilah, Sayang, apa-apa yang telah aku buang, kau tak kan bisa pulang. Meskipun begitu banyak tualang, aku tak kan ingin mengulang. Pikirkan dengan kepalamu, tanyakan pada hatimu, apa kita memang harus berakhir begini? Sebab apa yang telah kau sudahi, tak kan bisa kembali.
Kau Hanya Harus Menjawab.
Tidak ada yang benar-benar betah saat menunggu. Prasangka buruk akan selalu saja mengganggu. Kamu yang dinanti, jangan seakan tidak peduli. Yang kukorbankan memang bukan materi. Tetapi waktu yang tak bisa kembali. Tak usah membalas perasaan ini jika memang tak bisa. Cukup katakan saja sebaiknya aku harus bersikap bagaimana. Tetap menunggumu, atau meneruskan langkah meninggalkanmu.
Bertahan dalam tunggu di waktu yang tidak sebentar, itu bukan prestasi, Sayang. Jangan menyia-nyiakan hidup seseorang terlalu lama. Banyak hal yang sebenarnya bisa aku dapatkan, namun memilih membuangnya untukmu. Penantian atas nama cinta.
Terkadang, aku sangat lelah. Ingin sekali menyerah. Namun ketika kulihat lagi ke belakang, sudah berapa lama aku mengorbankan waktuku untukmu, hatiku seakan menegaskan, “Jangan berhenti sekarang. Mungkin harapmu sebentar lagi menjadi nyata...”Sehingga aku memilih, bertahan dalam keterpaksaan.
Bukan aku mengharapkan balasan. Bukan aku tak ikhlas menunggumu. Tetapi, bayangkan saja bila kau jadi aku. Tunggumu tak dihargai. Korbanmu tak terlihat. Dan waktumu terbuang sia-sia. Menurutmu bagaimana? Mudah? Tak perlu dijawab. Cukup rasakan saja. Bahwa kau seberharga itu. Sedang aku semenyedihkan ini.
Jadi, sayang. Kali ini aku akan bagaimana? Tetap bertahan atau harus pergi dari hidupmu? Bantu aku memecahkan persoalan ini. Apapun jawabmu, aku terima sepenuhnya. Jangan terbebani dengan rasa takut menyakiti. Sebab rasa sakit akan sembuh. Hidup kita masih panjang. Masih banyak yang harus kita urusi. Jadi, pastikan pilihanmu tidak berbuah penyesalan....
******
Pengirim:
Fitriyatun Zakiyah